Minggu, 21 Juli 2013

KODE YANG UMUM DIMEGERTI SUKU DAYAK


TOTOK BAKAKAK
  1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
  2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
  3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
  4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
  5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
  6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
  7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
  8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
  9. Daun sawang/jenjuang yang digaris dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
  10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu

CARA BERBURU SUKU DAYAK

BERBURU ALA SUKU DAYAK

Anda pernah berburu? Atau justru Anda memang mempunyai hobi berburu? Bagaimana cara Anda berburu? Menunggu binatang buruan dan tembak langsung?
Suku Dayak yang hidup merambah di hutan-hutan mempunyai cara unik dalam berburu binatang. Salah satunya yang saya temui pada suatu kesempatan ekspedisi ke Kalimantan Timur, tepatnya di desa Long Loreh Kabupaten Tarakan.
Untuk berburu mereka tidak menunggu binatang buruannya datang mendekati mereka tetapi mereka memanggil binatang yang diinginkannya untuk datang mendekati mereka. Caranya?
Caranya tergantung dari binatang apa yang mereka buru. Misalnya, untuk binatang rusa mereka akan menirukan suara anak rusa dengan menggunakan sejenis daun serai yang dilipat melintang dan ditiup. Hasil tiupannya akan muncul suara seperti suara anak rusa. Kenapa begitu? “Karena Rusa selalu melindungi anaknya. Dengan mendengar suara ini dia merasa anaknya membutuhkan pertolongan” demikian keterangan yang saya peroleh dari seorang pemburu disana.
Bagaimana dengan binatang lainnya? Celeng (Babi hutan) suka sekali diambil kutunya oleh Beruk (monyet besar), maka untuk memanggil celeng, si pemburu akan menepuk pantat mereka berulang kali sehingga muncul suara seperti Beruk menepuk badannya. Sedangkan Beruk tidak pernah menjadi target buruan. “Rasanya seperti makan daging manusia” demikian alasan mereka.
Memanggil (tepatnya mengejar) Babi adalah tugas para anjing peliharaan si pemburu yang akan selalu diajak selama berburu karena anjing mempunyai penciuman yang tajam. Kalau ingin berburu Enggang, burung besar yang suka terbang si pemburu akan menirukan suara burung tersebut yang mirip suara Elang. “KooaaaaK” kira-kira begitu.
Alat berburu yang mereka gunakan hanyalah tombak atau sumpit. Karena sumpit mereka panjang, biasanya sumpit tersebut bisa juga digunakan sebagai tombak. Jarum sumpit yang digunakan berburu diolesi dengan ramuan racun yang berfungsi hanya melumpuhkan atau bahkan mematikan.
Selama berburu mereka juga menghitung waktu dan arah angin. Perhitungan waktu berkaitan dengan aktivitas binatang buruan sementara arah angin untuk membantu mereka mennetukan posisi untuk menyembunyikan diri. Bersedianya binatang buruan mendekati mereka sangat dipengaruhi oleh bau asing yang dibawa angin.
Hal yang bisa diambil dari kehidupan suku Dayak adalah kearifan tradisional sangat melekat mereka bahkan dalam hal berburu. Mereka hanya berburu pada saat-saat tertentu di mana persediaan lauk mereka sudah mulai menipis atau mereka akan mengadakan pesta. Suku Dayak sangat menghormati alam. Karena bagi mereka alam memberikan mereka semua kebutuhan yang mereka perlukan tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan mengelolanya.

SENJATA SUKU DAYAK

Senjata Sukubangsa Dayak

  1. Sipet / Sumpitan.Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 – 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ – ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
  2. Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
  3. Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
  4. Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.

ASAL MULA SUKU DAYAK

 SUKU DAYAK
 
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan

PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK

 PENGUBURAN SUKU DAYAK

Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung.
Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan kedalaman kurang lebih setengah meter.
Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok. Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan lain-lain.
Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si mati selagi berada di dunia fana

KEBUDAYAAN TARI DAYAK

SENI TARI DAYAK

1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.

Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.

2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.

3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.

Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.

4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.

5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.


6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.


7. Tari Hudoq Kita’
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita’ dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita’ menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita’, yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.


8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).a kita memanfaatkan dan mengelolanya.

9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.


10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.


11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.


12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.


13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.


14. Tari Baraga’ Bagantar
Awalnya Baraga’ Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq

CERITA TENTANG DAYAK PUNAN

Legenda Dayak Punan

Legenda ini, diperkirakan terjadi sekitar seratusan tahun lalu. Seorang nenek renta dalam masyarakat Dayak Punan, Kalimantan Timur, tiba-tiba berubah menjadi kodok, dan hingga sekarang keturunan generasi kedua hidup di tengah-tengah masyarakat.

Wakil Ketua Persekutuan Lembaga Adat Dayak Punan Kaltim, Dollop Mamung (54) sangat yakin legenda itu bukan isapan jempol. Selain dirinya berasal dari suku Dayak Punan, Dollop juga kenal baik dengan satu dari antara cucu sang nenek yang menuturkan kisah itu.

“Impian saya yang belum terwujud yakni mengunjungi hutan rimba yang menjadi lokasi nenek tua itu berubah menjadi kodok,” tutur Dollop dalam perbincangan Tribun, Kamis (11/3/2010), di Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar).

Dollop merupakan delegasi masyarakat adat, yang baru usai mengikuti sebuah workshop kehutanan di Kota Pontianak, Kalbar. Legenda yang lekat dalam budaya masyarakat Punan itu erat kaitannya dengan keraifan tradisi menjaga kelestarian hutan.

“Waktu itu, sekelompok keluarga hidup di sekitar hutan Marut. Mereka tidak berladang, tetapi hidup secara mubut. Artinya, hidup berpindah-pindah untuk berburu dan meramu,” ucap Dollop memulai kisahnya.

Dalam kelompok kecil orang-orang Punan itu, ada seorang nenek renta atau adu’ oroh dalam bahasa lokal. Saking rentanya, setiap kali kelompok itu berpindah tempat, adu’ oroh digendong di punggung menggunakan kalong.

Kalong merupakan alat semacam keranjang terbuat dari rotan, yang digunakan sebagai wadah hasil meramu. Suatu hari, adu’ oroh meminta dirinya ditinggalkan saja di sebuah pondok.

“Adu’ oroh kasihan dengan anak-cucunya yang kerepotan harus selalu menggendong dia. Tentu saja keluarganya menolak, tapi dia terus mendesak,” kata Dollop.

Dengan terpaksa, anak-cucunya meninggalkan nenek itu di sebuah pondok. Tetapi, mereka selalu menjenguknya setiap usai mubut. “Tiga hari kemudian, ketika dijenguk, adu’ oroh masih ada di pondok itu. Sepekan dan dua pekan, juga masih ada. Nah sebulan kemudian, tiba-tiba saja adu’ oroh lenyap,” kata Dollop, yang mendapatkan kisah ini dari cucu generasi kedua odu’ oroh bernama Jonidy Apan (40) yang kini menjadi Kepala Adat Punan Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.

Para anak cucunya pun gempar, dan segera mencari di sekitar pondok. Sosok renta yang sangat mereka cintai itu tak kunjung ditemukan.

“Sampai di bebatuan di pinggir Sungai Magong, mereka melihat selembar berat, yakni tikar khas Punan dari rotan. Di atas berat itu, ada seekor ja’ui atau kodok besar,” ujar Dollop yang juga mantan Ketua Harian Yayasan Adat Punan (YAP) ini.

Memang, ja’ui yang rata-rata bisa mencapai seberat 1 kilogram itu umum ditemukan di hutan sekitar. Tapi kodok besar yang satu ini aneh dan istimewa.

Dia bisa berkata-kata layaknya manusia. Kodok besar itu duduk sambil menangis di atas tikar rotan yang terhampar di bebatuan itu.

“Jangan mencari saya. Inilah saya, adu’ oroh kalian. Saya tidak apa-apa, jangan kalian risau,” begitu ucapan sang kodok kepada sanak keluarga yang panik mencari dirinya.

Sang nenek berpesan, agar anak-cucunya menjaga hutan itu dari kerusakan. Itu sebabnya, masyarakat Punan di situ tak melakukan pola berladang.

Hingga saat ini, masih ada komunitas Dayak Punan yang tinggal di sana dan tetap hidup dengan cara mubut. Lokasi itu persisnya di hutan Marut, Sungai Blusuh, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.

Dulu, hutan rimba yang masih asli dan kaya keanekaragaman hayati itu mencapai ribuan hektar luasnya. Tetapi kini tinggal tersisa sekitar 50 hektar saja, karena telah “dikepung” konsesi perusahaan kayu maupun kelapa sawit.

“Sudah beberapa kali cucu adu’ oroh mengajak saja ke lokasi itu untuk menjumpai ja’ui itu. Sayang belum pernah terealisasi. Kalau ikut serta cucunya, kita bisa bertemu beliau,” kata Dollop.

Jarak hutan Marut sekira dua hari perjalanan dari Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Kombinasi jalan kaki dan naik perahu kayuh di Sungai Magong, menembus hutan belantara.

Sejumlah bukti kian membuat Dollop yakin dengan kebenaran kisah itu. Sudah berapa karyawan perusahaan dikabarkan hilang, saat melakukan survey di hutan itu. Setelah dicari-cari, jangankan jenazahnya, jejaknya pun sama sekali tak berbekas.

“Makanya sampai sekarang, tinggal tersisa areal hutan Marut itu yang belum berani dirambah orang. Beberapa surveyor mereka hilang tak ada kabarnya. Adu’ oroh tak suka hutan itu dirusak,” kata dia.

Karena legenda itu pula, keturunan adu’ oroh tak boleh mengonsumsi daging kodok itu. Satwa itu memang dikenal memiliki habitat di kawasan tersebut.

Bagi kalangan masyarakat yang tak punya hubungan dengan adu’ oroh, daging ja’ui bisa dijadikan lauk. Asalkan kulit dan tulangnya dipisahkan dulu, sebab mengandung racun