Legenda Dayak Punan
Legenda
ini, diperkirakan terjadi sekitar seratusan tahun lalu. Seorang nenek
renta dalam masyarakat Dayak Punan, Kalimantan Timur, tiba-tiba berubah
menjadi kodok, dan hingga sekarang keturunan generasi kedua hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Wakil Ketua Persekutuan Lembaga Adat
Dayak Punan Kaltim, Dollop Mamung (54) sangat yakin legenda itu bukan
isapan jempol. Selain dirinya berasal dari suku Dayak Punan, Dollop juga
kenal baik dengan satu dari antara cucu sang nenek yang menuturkan
kisah itu.
“Impian saya yang belum terwujud yakni mengunjungi
hutan rimba yang menjadi lokasi nenek tua itu berubah menjadi kodok,”
tutur Dollop dalam perbincangan Tribun, Kamis (11/3/2010), di Kota
Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar).
Dollop merupakan delegasi
masyarakat adat, yang baru usai mengikuti sebuah workshop kehutanan di
Kota Pontianak, Kalbar. Legenda yang lekat dalam budaya masyarakat Punan
itu erat kaitannya dengan keraifan tradisi menjaga kelestarian hutan.
“Waktu
itu, sekelompok keluarga hidup di sekitar hutan Marut. Mereka tidak
berladang, tetapi hidup secara mubut. Artinya, hidup berpindah-pindah
untuk berburu dan meramu,” ucap Dollop memulai kisahnya.
Dalam
kelompok kecil orang-orang Punan itu, ada seorang nenek renta atau adu’
oroh dalam bahasa lokal. Saking rentanya, setiap kali kelompok itu
berpindah tempat, adu’ oroh digendong di punggung menggunakan kalong.
Kalong
merupakan alat semacam keranjang terbuat dari rotan, yang digunakan
sebagai wadah hasil meramu. Suatu hari, adu’ oroh meminta dirinya
ditinggalkan saja di sebuah pondok.
“Adu’ oroh kasihan dengan
anak-cucunya yang kerepotan harus selalu menggendong dia. Tentu saja
keluarganya menolak, tapi dia terus mendesak,” kata Dollop.
Dengan
terpaksa, anak-cucunya meninggalkan nenek itu di sebuah pondok. Tetapi,
mereka selalu menjenguknya setiap usai mubut. “Tiga hari kemudian,
ketika dijenguk, adu’ oroh masih ada di pondok itu. Sepekan dan dua
pekan, juga masih ada. Nah sebulan kemudian, tiba-tiba saja adu’ oroh
lenyap,” kata Dollop, yang mendapatkan kisah ini dari cucu generasi
kedua odu’ oroh bernama Jonidy Apan (40) yang kini menjadi Kepala Adat
Punan Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.
Para anak cucunya
pun gempar, dan segera mencari di sekitar pondok. Sosok renta yang
sangat mereka cintai itu tak kunjung ditemukan.
“Sampai di
bebatuan di pinggir Sungai Magong, mereka melihat selembar berat, yakni
tikar khas Punan dari rotan. Di atas berat itu, ada seekor ja’ui atau
kodok besar,” ujar Dollop yang juga mantan Ketua Harian Yayasan Adat
Punan (YAP) ini.
Memang, ja’ui yang rata-rata bisa mencapai
seberat 1 kilogram itu umum ditemukan di hutan sekitar. Tapi kodok besar
yang satu ini aneh dan istimewa.
Dia bisa berkata-kata layaknya
manusia. Kodok besar itu duduk sambil menangis di atas tikar rotan yang
terhampar di bebatuan itu.
“Jangan mencari saya. Inilah saya,
adu’ oroh kalian. Saya tidak apa-apa, jangan kalian risau,” begitu
ucapan sang kodok kepada sanak keluarga yang panik mencari dirinya.
Sang
nenek berpesan, agar anak-cucunya menjaga hutan itu dari kerusakan. Itu
sebabnya, masyarakat Punan di situ tak melakukan pola berladang.
Hingga
saat ini, masih ada komunitas Dayak Punan yang tinggal di sana dan
tetap hidup dengan cara mubut. Lokasi itu persisnya di hutan Marut,
Sungai Blusuh, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan.
Dulu, hutan
rimba yang masih asli dan kaya keanekaragaman hayati itu mencapai
ribuan hektar luasnya. Tetapi kini tinggal tersisa sekitar 50 hektar
saja, karena telah “dikepung” konsesi perusahaan kayu maupun kelapa
sawit.
“Sudah beberapa kali cucu adu’ oroh mengajak saja ke
lokasi itu untuk menjumpai ja’ui itu. Sayang belum pernah terealisasi.
Kalau ikut serta cucunya, kita bisa bertemu beliau,” kata Dollop.
Jarak
hutan Marut sekira dua hari perjalanan dari Kecamatan Sekatak,
Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Kombinasi jalan kaki dan naik
perahu kayuh di Sungai Magong, menembus hutan belantara.
Sejumlah
bukti kian membuat Dollop yakin dengan kebenaran kisah itu. Sudah
berapa karyawan perusahaan dikabarkan hilang, saat melakukan survey di
hutan itu. Setelah dicari-cari, jangankan jenazahnya, jejaknya pun sama
sekali tak berbekas.
“Makanya sampai sekarang, tinggal tersisa
areal hutan Marut itu yang belum berani dirambah orang. Beberapa
surveyor mereka hilang tak ada kabarnya. Adu’ oroh tak suka hutan itu
dirusak,” kata dia.
Karena legenda itu pula, keturunan adu’ oroh
tak boleh mengonsumsi daging kodok itu. Satwa itu memang dikenal
memiliki habitat di kawasan tersebut.
Bagi kalangan masyarakat
yang tak punya hubungan dengan adu’ oroh, daging ja’ui bisa dijadikan
lauk. Asalkan kulit dan tulangnya dipisahkan dulu, sebab mengandung
racun